Rabu, 06 September 2017

Menghargai Pluralitas dan Perbedaan di Negeri kita



Bila kita pergi ke tanah suci melaksanakan ibadah haji atau umroh maka akan terlihat pemandangan yang unik yang tidak ada di negeri kita. Banyak berbagai hal yang perlu kita ambil untuk diaplikasikan di negeri ini. Di Indonesia perbedaan masih dinilai minoritas. banyak konflik yang terjadi di negeri ini karena perbedaan yang minim sehingga menimbulkan friksi yang terjadi diberbagai kalangan. Padahal Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman dan pluralitas dan Saling menghargai antara sesama umat manusia di dunia.
 
Seusai melaksanakan shalat bersama di Masjid Nabawi, seorang jamaah tanah air yang baru pertama kali berziarah ke Tanah Suci berkomentar, “Kok, cara-cara shalat di sini banyak sekali perbedaannya, ya.” Pandangan ini menunjukkan bahwa jika shalat merupakan representasi keislaman seseorang seperti diisyaratkan dalam salah satu sabda Rasulullah, maka berarti ada banyak cara orang beragama Islam.

Di samping kiri kanan jamaah itu orang-orang terlihat melakukan beragam cara takbiratul ihram. Lalu, tangannya diletakkan di tempat yang berbeda-beda. Di atas perut, di atas dada, atau seperti memeluk tubuh kedinginan. Bahkan, ada pula yang membiarkan tangan itu tergantung lepas. Demikian pula pada gerakan shalat lainnya. Gerakan tangan ketika berdiri sesudah rukuk, atau gerakan telunjuk dan posisi duduk ketika tasyahud akhir, semuanya terlihat berbeda-beda. Tapi, semuanya berjalan damai. Tidak ada perdebatan yang tidak menguntungkan, apalagi konflik.

Bukan hanya itu, perilaku jamaah pun amat bervariasi. Mereka melakukan sesuatu tindakan sesuai ukuran norma yang dianutnya masing-masing. Jamaah yang baru pertama kali shalat di Masjid Nabawi itu sempat kaget. Dia merasa diperlakukan tidak sopan. Kepalanya dipegang seenaknya. Badannya dilangkahi tanpa basa-basi apa pun. Kadang, kepalanya yang tengah melakukan sujud pun bisa saja tertendang kaki orang-orang yang masih mencari-cari ruang-ruang sempit di antara barisan para jamaah yang sejak awal telah mendapat tempat duduk. Mungkin bagi para pelakunya hal aneh itu dianggap wajar dan masih dalam batas-batas sopan santun. Tapi, sekali lagi, tidak ada amarah, caci maki, apalagi respons kekerasan.

Mungkin begitulah tafsir pluralitas seperti diisyaratkan Alquran. Jika Tuhan telah menciptakan manusia ini berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, tentu bukan hanya dalam wujud fisik yang tampak nyata dalam warna kulit, bahasa, dan budaya. Tapi, juga dalam ukuran-ukuran baik-buruk atau benar-salah sepanjang masih dalam ruang ijtihad, lingkup pemikiran, serta tradisi lokal yang menjadi referensi kehidupannya. Memang, pada praktiknya, beragama sendiri pada dasarnya tidak lebih dari berbuat sesuatu amal sesuai kapasitas insani yang dimiliki seorang pemeluk sesuatu agama. Tidak dalam posisi dipaksanakan, atau karena ada pemaksaan untuk melakukan sesuatu amal.

Praktik beragama pada akhirnya akan terikat pada etika dan perilaku sosial yang bersumber pada keragaman dan perbedaan seperti disebutkan Alquran. Jadi, ekspresi beragama pun akan tampak berbeda-beda. Ia tidak bisa dibikin sama, apalagi dipaksa harus sama, dan kalaupun sama, semuanya terjadi karena ada kesamaan referensi dan pengalaman yang sewaktu-waktu juga bisa saja berubah jadi berbeda.

Inilah potret indah pluralitas seperti dipesankan Alquran dan dicontohkan Rasulullah. Keberhasilan Nabi menciptakan kerukunan di tengah perbedaan masyarakat Madinah, merupakan sampel mewujudkan perdamaian di tengah pluralitas umat untuk membangun kebersamaan yang sesungguhnya.

Tapi, mengapa pluralitas di Tanah Air akhir-akhir ini masih saja ramai diwarnai ketegangan dan bahkan kekerasan? Mungkin, kita masih harus banyak belajar.

Saling menghargai antara sesama umat manusia adalah sebuah keharusan. Hal ini berkaitan demi terciptanya keharmonisan dalam kehidupan. Dengan keharmonisan tersebut diharapkan tidak terjadi perselisihan didalam sebuah kelompok yang dapat memicu kerugian yang lebih besar seperti perang antara satu kelompok dengan kelomok yang lain. Tapi ada satu hal yang menjadi urgent dari pembahasan mengenai saling menghargai ini. Sebuah pemahaman yang posisinya akan sangat memengaruhi pola pikir seseorang.

Islam justru menghargai nilai-nilai keberagaman dan pluralitas yang menghargai pluralitas dan keberagaman lainnya. Negeri Andalusia (Spanyol saat ini) dahulu dikenal sebagai negeri 3 religion yaitu Nasrani dan Yahudi hidup berdampingan dengan islam yang saat itu berkuasa dengan adil dan sentausa. Justru sebaliknya, 1 April 1487 Masehi dan dikenang sebagai "The April Fool Day" merupakan hari kelam bagi kaum muslimin di negeri andalusia tatkala islam mengalami kemunduran dan kekalahan oleh inggris. Saat itu ratusan ribu kaum muslimin di bantai atas nama agama nasrani di mana kaum muslimin saat itu tidak mau tunduk dan masuk dalam agama nasrani. Oleh karena itu, marilah kita dari sekarang sampai seterusnya menghargai pluralitas dan perbedaan di negeri kita.

By : Mochamad Purnaegi Safron

Sumber: 
http://cintaallahswt.wordpress.com
http://muhfauzim.blogspot.co.id/2014/01/beda-pluralitas-dengan-pluralisme.html
https://id-id.facebook.com/notes/media-islam-online/islam-menghargai-pluralitas-islam-mengecam-pluralisme

Senin, 03 Juli 2017

Maraknya Terorisme di Tanah Air



Dipertengahan tahun bulan Juni 2017, tepatnya di bulan Suci Ramadhan aksi teror semakin marak di tanah air mulai dari aksi bom bunuh diri maupun aksi penyerangan diri oleh pelaku teroris di Indonesia. Penangkapan pelaku teror tidak menciutkan namun aksi balas dendam semakin terus terjadi oleh kelompok teror di tanah air. Kelompok terorisme di Indonesia memiliki struktur organisasi yang kuat dan memilik sel-sel jaringan yang sulit terdeteksi oleh Kepolisian sebagai Apkam.Ini memerlukan ekstra untuk membongkar jaringan terstruktur. Selain itu, peran masyarakat baik tokoh agama, masyarakat maupun elemen sangat menentukan keberhasilan membongkar jaringan terorisme di tanah air dari akar-akarnya.

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad atau mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

Titik Rawan Ancaman Terorisme di Tanah Air.
Indonesia mempunyai beberapa titik rawan terjadinya ancaman terorisme. Titik rawan pertama adalah daya tarik yang besar sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kelompok radikal ingin mengusai Indonesia sebagai salah satu langkah menuju penguasaan secara global. Warga negara Indonesia yang berhasil digalang dan direkrut menjadi simpatisan, anggota, bahkan pengantin bom bunuh diri tidak sedikit. Daya tarik inilah yang mendorong kelompok radikal untuk melakukan aksi teror di Indonesia.

Titik rawan kedua adalah adanya securiy gap atau celah keamanan yang bisa dimanfaatkan untuk menjalankan aksi teror. Indonesia yang cukup luas, dengan geografis yang beragam, penduduk yang plural dan permisif justru menjadi celah-celah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal.

Pembiaran aksi-aksi intoleran dan kelompok yang ingin mengganti ideologi Pancasila dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk eksis dan masuk ke dalam aksi dan kelompok tersebut. Tindakan yang tidak tegas terhadap kelompok intoleran menjadi celah atau titik rawan masuknya idelogi radikal sekaligus sebagai kesempatan untuk penggalangan pengikut.

Titik rawan ketiga adalah skala dampak yang tinggi jika terjadi terorisme. Terorisme yang terjadi di Indonesia selama ini dampak negatifnya cukup signifikan. Korban jiwa dan korban materi tidak sedikit. Dampak yang besar tersebut dipublikasikan secara gratis oleh media masa sehingga menjadi nilai tambah bagi pelaku teror terutama sebagai sarana pembuktian efektifitas aksi kepada pimpinan kelompoknya.

Ketiga titik rawan di atas mempunyai nilai cukup tinggi dan hal ini akan memudahkan ancaman-ancaman teror di Indonesia bisa terjadi. Usaha yang harus dilakukan adalah menutup celah atau titik rawan supaya ancaman teror tidak terjadi terutama celah keamanan seperti security gap. Nilai ancaman dan titik rawan atas aksi teror yang cukup tinggi di Indonesia perlu disikapi dengan langkah-langkah tanggap strategi supaya ancaman teror tidak terjadi, dengan cara pencegahan, penindakan dan pemulihan.

by: Purnaegi Safron

Sumber :
http://nabillanurul24.blogspot.co.id/2016/01/opini-tentang-teroris.html
https://news.detik.com/kolom/d-3387780/prediksi-dan-analisis-ancaman-terorisme-tahun-2017

Minggu, 18 Juni 2017

Gerakan Politik Hizburt Tahrir Indonesia



Hizburt Tahrir Indonesia (HTI) merupakan bagian dari Hizbut Tahrir (HT) pusat internasional yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani, ulama berkebangsaan Palestina, pada tahun 1953 di al-Quds, Yordania. HT adalah partai politik yang berideologikan Islam sebagai aktivitas utama misi HT. Politik bagi HT pada dasarnya adalah mengatur dan memelihara urusan masyarakat sesuai dengan hukum dan pemecahan Islam. Dengan demikian, HTI mendefinisikan dirinya sebagai parpol dengan menegasikan bahwa dirinya bukan kelompok yang hanya berdasarkan pada kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan, dan bukan pula lembaga sosial.

Tujuan HT adalah melangsungkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Ini berarti mengajak kaum Muslim untuk hidup secara Islami dan seluruh aktivitas kehidupan di dalamnya diatur sesuai dengan hukum syara‘. Pandangan hidup yang akan menjadi pusat perhatiannya adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islamiyah, yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang khalifah yang diangkat dan dibaiat oleh kaum Muslim untuk didengar dan ditaati, dan agar menjalankan pemerintahannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Era reformasi, yang ditandai dengan euphoria politik dan terbukanya kran-kran kebebasan berekspresi dimanfaatkan oleh berbagai gerakan Islam yang menuntut kembali penegakan syariah Islam. Aktor gerakan yang muncul pada masa ini berbeda dengan aktor gerakan Islam lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, al-Wasliyyah dan lainnya. Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream proses politik, maupun wacana dalam kelompok Islam dominan. Kelompok-kelompok HTI, MMI, FPI, dan Lasykar Jihad merupakan representasi generasi baru gerakan Islam di Indonesia.

Hizbut Tahrir Indonesia disingkat HTI adalah yang paling solid dan memiliki jaringan paling luas (internasional) di antara gerakan-gerakan baru yang giat menegakkan syariah Islam tersebut. Bahkan, HTI juga yang paling radikal, dalam arti, HTI tidak hanya bercitacita menegakkan syariah Islam tapi juga mendirikan Khilafah Islam. Menurut HTI penegakan syariah Islam secara total (kaffah) hanya dapat diwujudkan dalam kerangka negara khilafah Islam, bukan dalam sistem kerajaan, parlementer, federal, imperium ataupun NKRI. Beberapa konsep sistematis syariah upaya HTI dalam mewujudkan cita-cita sistem khilafah.

HTI memiliki konsep yang paling jelas di antara gerakan penegak syariah Islam lainnya. Syariah Islam adalah perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt. melalui Rasulullah Muhammad Saw. untuk seluruh umat manusia baik menyangkut ibadah, akhlak, makanan, minuman, pakaian maupun muamalah (pemerintahan, ekonomi, pendidikan, peradilan, dll) guna meraih kehidupan di dunia maupun di akhirat. Jadi, syariah menurut HTI mencakup semua aspek kehidupan. Di samping syariah Islam memiliki cakupan yang sangat luas sebagaimana definisi di atas, hukum-hukum syara’ juga memiliki varian yang sangat beragam terutama yang tidak diatur secara tegas dalam nash Al-Quran maupun Sunnah. Hukum-hukum yang tidak diatur  dalam nash secara tegas telah melahirkan multi-interpretatif dan karenanya melahirkan berbagai mazhab yang sangat bervariasi, terutama mazhab hukum yang akan menjadi pedoman penegakan syariah Islam. Berbagai varian hukum dalam Islam memunculkan pertanyaan di kalangan umat Islam, yaitu hukum-hukum syara’ manakah yang akan dijadikan peraturan (UU) oleh negara yang keberadaannya mengikat semua warga negara? Belum lagi pertanyaan yang berkaitan dengan dikotomi warga negara Muslim dan non-Muslim, yaitu apakah warga non-Muslim juga harus melaksanakan syariah Islam dalam beribadah dan berakidah yang berarti pula bahwa non-Muslim harus menjadi Muslim?

Adapun sistem pemerintahan Islam yang berbentuk khilafah Islamiyah, dibangun di atas empat pilar, yaitu: pertama, kedaulatan milik syara’ yang diatur oleh Allah dengan seluruh perintah dan larangan-Nya; kedua, kekuasaan atau pemerintahan berada di tangan umat, berdasarkan tata cara yang ditentukan syara’ dalam mengangkat khalifah yang dipilih oleh kaum Muslim, yaitu melalui baiat; ketiga, kewajiban mengangkat hanya seorang khalifah untuk seluruh kaum Muslim sebagai wakil mereka dalam pemerintahan; keempat, khalifah berhak menetapkan hukum-hukum syara’ yang akan dilaksanakan dalam pemerintahan dan berhak menentukan konstitusi (UUD) serta perundang-undangan.

Pemerintah memutuskan untuk membubarkan dan melarang kegiatan yang dilakukan oleh ormas HTI. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto memaparkan tiga alasan pemerintah membubarkan HTI. Pertama, sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Ketiga, aktifitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.

Pasca pernyataan pemerintah membubarkan HTI menimbulkan pro dan kontra di beberapa wilayah di negeri ini, mengingat HTI adalah ormas resmi dan berkuatan hukum. Disamping itu juga pertimbangan atau pemikiran pemerintah bahwa HTI diseluruh dunia sudah dibubarkan karena membentuk khilafah sendiri dan tidak mendukung program pemerintah dalam bingkai NKRI.

Oleh : M. Purnaegi Safron.

Sumber :
www.kompas.com
artikel HTI.