Rabu, 07 Januari 2015

Mengangungkit Kembali Permasalahan Pembangunan Maritim Indonesia



Oleh : Mochamad Purnaegi Safron
Bangsa Indonesia seharusnya bersyukur kepada Allah SWT yang telah diberikan suatu anugerah yang sangat besar, yaitu hidup dalam suatu Negara Kepulauan yang merupakan wilayah sepanjang 3.000 mil laut berupa hamparan laut luas dari Merauke sampai Sabang. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 meliputi wilayah laut yurisdiksi nasional lebih kurang 5,8 juta km2, Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia terletak pada posisi yang sangat strategis, yaitu pada persilangan dua benua dan dua samudera, serta memiliki wilayah laut yang memiliki kekayaan laut yang besar, sekaligus sebagai urat nadi perdagangan dunia. Posisi Indonesia yang sangat strategis tersebut memberikan konsekuensi bagi bangsa Indonesia yaitu untuk menjalankan aturan sebagaimana yang termaktub dalam United Nation Convention on the Law of the Sea 1982.

Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, yang 2/3 wilayahnya merupakan wilayah lautan dan Indonesia merupakan negara maritim atau kepulauan terbesar didunia, antara pulau satu dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tapi bukanlah menjadi penghalang bagi setiap suku bangsa di Indonesia untuk saling berhubungan dengan suku-suku di pulau lainnya. Sejak zaman bahari, pelayaran dan perdagangan antar pulau telah berkembang dengan menggunakan berbagai macam tipe perahu tradisional, nenek moyang kita menjadi pelaut-pelaut handal yang menjelajahi untuk mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia (Nusantara) pada zaman bahari telah sampai ke Mandagaskar. Bukti dari berita itu sendiri adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu tipe jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan untuk berlayar Fantastis.

Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, namun ironis berbagai masalah tidak dapat diatasi, padahal kekayaan laut sangat besar dibandingkan kekayaan darat. Banyak kendala yang dihadapi maritim indonesia yang belum mampu disentuh dengan tangan ahli sehingga kekayaan laut dapat menambah pendapatan negara.

Dari aspek pembangunan ekonomi maritim, Indonesia juga masih menghadapi banyak kendala. Sektor perhubungan laut yang dapat menjadi multiplier effect karena perkembangannya akan diikuti oleh pembangunan dan pengembangan industri dan jasa maritim lainnya masih dikuasai oleh kapal niaga asing. Azas cabotage seperti yang diamanatkan oleh UU RI No: 17/2008  tentang Pelayaran masih perlu diperjuangkan agar dapat diterapkan dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya kapasitas kapal nasional, sedangkan pembangunan kapal baru dihadang oleh tidak adanya keringanan pajak dan sulitnya kredit serta tingginya bunga kredit untuk usaha di bidang maritim mengingat usaha jenis ini memiliki tingkat resiko tinggi dan slow yielding.

Untuk angkutan domestik, armada nasional baru mampu mengangkut sekitar 60 persen. Peranan armada nasional dalam angkutan laut internasional baik ekspor maupun impor menunjukkan kenyataan yang lebih memprihatinkan, karena pemberlakuan prinsip  Freight on Board (FoB), bukan Cost and Freight (CnF ). Dari ekspor dan impor nasional, armada Indonesia hanya kebagian jatah sekitar 10 persen, mengakibatkan kerugian devisa sebesar 40 miliar USD! Kita juga masih prihatin terhadap kondisi pelabuhan nasional yang belum tertata secara konseptual tentang pelabuhan utama ekspor-impor dan pengumpan. Selain itu, keamanan dan efisiensi pelabuhan Indonesia masih diragukan, terutama bila dihadapkan pada pemenuhan persyaratan
International Ship and Port Safety (ISPS) Code.

Kecelakaan laut yang menimpa angkutan antar pulau yang memakan korban jiwa yang besar masih terus terjadi, mengingat kapal yang digunakan adalah kapal tua, tidak dilengkapi peralatan keselamatan, bahkan tidak layak laut. Sisi lain dari laut yang memberikan peluang kesejahteraan dan kemakmuran, sekaligus buah pertikaian pada masa depan adalah sumber daya laut dan bawah laut. Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang terbentang seluas 2,7 juta km persegi dan keberhasilan untuk mengekploitasi wilayah ini dapat membantu mengangkat Indonesia keluar dari keterbelakangan ekonomi. Namun disadari bahwa Indonesia kekurangan kemampuan teknologi untuk memanfaatkan kekayaan bawah lautnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya survey, research  dan sumber daya manusia di bidang maritim.

Indonesia bahkan masih mengalami kesulitan untuk memanfaatkan wilayah lautnya yang kaya dengan sumber daya perikanan. Illegal, Unregulated and Unreported fishing  masih terjadi secara luas, karena Indonesia belum mampu memperkuat armada perikanan nasional dan belum mampu mengawasi dan mengendalikan lautnya secara optimal. Diperkirakan Indonesia membutuhkan sekitar 22.000 kapal ikan dengan kapasitas masing-masing di atas 100 ton.

Jumlah ini terlihat besar, namun sesungguhnya merupakan estimasi minimal. Sebagai perbandingan, Thailand memiliki sekitar 30.000 kapal ikan yang resmi dan konon sekitar 20.000 yang tidak terdaftar. Di Taiwan, usaha perikanan dapat memberikan penghidupan yang layak bagi tidak kurang dari 300.000 keluarga. Sedangkan di Indonesia, terdapat sekitar 8.090 desa pesisir di 300 kabupaten dan kota di mana bermukim sekitar 16,42 juta warga yang bermata pencarian sebagai nelayan, pembudi daya ikan, pengolah, pemasar dan pedagang hasil perikanan.

Dari jumlah tersebut 32 persen masuk kategori miskin. Dari uraian pembangunan ekonomi maritim ini terlihat jelas bahwa kekuatan armada pelayaran niaga dan perikanan adalah ujung tombak dan tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi atau industri maritim nasional. Asas cabotage yang telah secara tegas diatur untuk diterapkan adalah kebijakan fundamental untuk pembangunan industri maritim karena multiplier effect nya yang sangat luas. Intinya, untuk membangun ekonomi atau industri maritim, pemerintah perlu segera menerapkan kebijakan insentif kredit dan pajak untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal sebagaimana diterapkan oleh pemerintah dari negara-negara lain yang menjadi saingan armada pelayaran niaga kita. Inpres V/2005 dan UU RI No.17/2008 tentang Pelayaran telah mengatur masalah ini. Apabila hal ini diberikan perhatian khusus dan sungguh-sungguh oleh pemerintah, pembangunan industri maritim akan segera menggeliat secara nyata.

Masalah Kelestarian Laut, Indonesia masih mengalami kesulitan untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dan marine mega biodiversitynya. Indonesia memiliki lebih dari 80,000 km persegi daerah terumbu karang atau sekitar 14 persen terumbu karang dunia. Bersama Phillipina dan Papua New Guinea, wilayah Indonesia merupakan 35% wilayah terumbu karang dunia, menjadikan wilayah ini sebagai wilayah prioritas untuk memelihara kelestarian marine biodiversity  di Asia-Pasifik yang dikenal sebagai “Coral Triangle” . Terdapat hutan bakau seluas 2,5 juta hektar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Hutan bakau antara lain berfungsi sebagai daerah pembiakan, pembesaran dan mencari makan bagi ikan, udang dan organisme laut lain, serta melindungi pantai dari abrasi dan erosi. Rumput laut juga tumbuh di banyak pantai di Indonesia. Dalam kenyataannya, Indonesia mengalami degradasi lingkungan laut yang sangat serius, yang juga mengancam kelangsungan kehidupan mega biodiversity  di Asia-Pasifik. Dalam 50 tahun terakhir, kerusakan terumbu karang meningkat dari sekitar 10% menjadi 50%. Hutan bakau di Indonesia juga berkurang dengan cepat karena pembangunan fasilitas pantai dan tambak liar.

Tanpa upaya yang cepat dan serius maka seluruh terumbu karang Indonesia akan lenyap dalam 20 sampai 40 tahun. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan industri perikanan dan kelautan serta wisata bahari di Indonesia. Penyebab utama kerusakan karang dan lingkungan laut adalah penangkapan ikan yang merusak, pengembangan wilayah pantai yang tidak terkendali dan sedimentasi serta polusi. Cukup jelas bahwa pembangunan kelautan harus dilaksanakan secara berkelanjutan  (sustainable). Perusakan dan pencemaran lingkungan laut dan pantai akan sangat merugikan usaha perikanan dan pariwisata bahari yang memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.

Solusi Menumbukan Kesadaran Kembali Tentang Bahari
Sesungguhnya, secara pemikiran dan konsepsi, Bangsa Indonesia sudah lama ingin kembali ke laut. Pada tahun 1957, Bangsa Indonesia mendeklarasikan Wawasan Nusantara, yang memandang bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Bung Karno saat pembukaan Lemhanas tahun 1965 mengatakan bahwa "Geopolitical Destiny" dari Indonesia adalah maritim. Melalui suatu perjuangan panjang dan bersejarah di forum internasional, pada tahun 1982, gagasan Negara Nusantara yang dipelopori Indonesia berhasil mendapat pengakuan Internasional dalam kovensi PBB tentang hukum laut. Pada 18 Desember 1996 di Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan.

Untuk mengatasi semua tantangan di bidang kelautan ini maka tidak dapat tidak, seluruh komponen bangsa harus segera membangkitkan maritime domain awareness, atau kesadaran lingkungan maritim. Hal ini diperlukan, karena sepertinya kita tidak lagi memiliki budaya bahari, sehingga perlu dibangun kembali melalui upaya penyadaran. Lingkungan bahari yang dimaksud adalah semua area dan hal-hal yang berhubungan, berkaitan, berdekatan atau berbatasan dengan laut, samudera atau semua perairan yang dapat dilayari, termasuk semua kegiatan yang berhubungan dengan maritim, infrastruktur, masyarakat, muatan kapal, armada, baik niaga, perikanan, maupun armada perang. Upaya menyadarkan masyarakat terhadap arti penting lingkungan maritim haruslah sampai kepada penyadaran yang efektif terhadap segala sesuatu yang menyangkut lingkungan maritim merupakan hal yang vital bagi keamanan, keselamatan, ekonomi dan lingkungan hidup bangsa Indonesia, serta menunjang upaya menegakkan harga diri bangsa.

Menyadarkan bahwa laut adalah aspek alamiah yang paling mempengaruhi kehidupan poleksosbudhankam nasional merupakan isu yang paling utama dan menarik perhatian. Untuk itu, Pemerintah harus menjadi ujung tombak, dan untuk itu pemerintah Indonesia perlu segera menetapkan sebuah National Ocean Policy dalam rangka pemanfaatan laut bagi sebesar-besarnya kemakmuran bangsa, sekaligus untuk mengembangkan kembali budaya bahari bangsa, yang tujuan akhirnya tentulah penguasaan laut nasional yang dapat menegakkan harga diri bangsa.

Sumber :
http://smahangtuah2.sch.id/
http://www.academia.edu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar