Indonesia mulai jadi perhatian strategi pertahanan
negara-negara di kawasan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengumumkan akan menghabiskan anggaran pertahanan hingga Rp150 triliun
antara 2010-2014. Posisi Indonesia yang lama 'dipandang remeh' dalam isu senjata di Asia kini mulai berubah, kata pengamat Andi Widjajanto.
"Sekarang mereka lihat kalau Indonesia cukup serius dan pada akhir
2024 saya kira anggaran kita akan menjadi yang terbesar di ASEAN." Selama ini, Malaysia dan Singapura selama bertahun-tahun selalu menjadi pemimpin terdepan dalam hal belanja senjata ASEAN. Ketegangan di Laut Cina Selatan akibat adu klaim
teritorial dengan raksasa Asia, Cina, telah memaksa Filipina dan
Vietnam turut mengasah peralatan tempurnya.
Vietnam membeli berbagai senjata dari Republik
Ceko, Kanada, dan Israel serta kapal selam dari Rusia. Bahkan Vietnam
dikabarkan tengah memesan peluru kendali canggih dari India. Sementara Filipina menargetkan pembelian dua
kapal penyergap baru, dua helikopter anti kapal selam, tiga kapal cepat
patroli pantai ditambah delapan kendaraan serbu amfibi hingga 2017. Seluruhnya untuk mempertahankan wilayah Laut Filipina Barat yang diperebutkan dengan Cina. Cina sendiri, tak usah ditanya.Setelah memamerkan kegarangan kapal pengangkut sekaligus landasan pesawat (aircraft carrier) Liaoning, di perairan Dalian September lalu, Cina terus menumpuk perbendaharaan alutsista hingga total belanja
melampaui USD100 miliar untuk pertama kalinya tahun 2012
Paradoks ASEAN
Secara keseluruhan laporan Institut Internasional untuk Strategi Keamanan (IISS) London menyebut besaran belanja senjata di Asia 2013 meningkat 14% lebih dibanding tahun lalu.
Sebaliknya, angka belanja senjata di 26 negara Eropa terus turun seiring dengan krisis ekonomi yang belum pulih. Asia tengah mengalami 'lomba senjata' tulis seorang pengamat dalam jurnal IISS. Peningkatan signifikan angka belanja senjata
sudah muncul tahun 2012, dan menurut IISS, belanja alutsista Asia
mencapai $287 miliar atau naik kira-kira 8,6% per tahun. Situasi ini tidak bisa dibilang lumrah, kata Andi Widjajanto.
ASEAN tengah menikati periode damai dengan
tingkat pendapatan masing-masing negara terus meningkat dan hubungan
antar negara yang makin matang. Bahkan dalam dua tahun, 2015, 10 negara di Asia tenggara ini akan memasuki babak baru Komunitas ASEAN. "Ini sebuah paradoks, ASEAN sangat damai tapi belanja senjata malah naik pesat," kata Andi. Pencetusnya adalah ketidakpastian di Laut Cina Selatan yang membuat beberapa negara ASEAN terlibat langsung dalam konflik ini seperti Filipina dan
Vietnam."Anggota melihat situasi damai justru sebagai
kesempatan untuk untuk mengisi arsenal masing-masing," tambah doktor
lulusan Universitas Pertahanan di Washington ini.
Perimbangan kekuatan
Untung lah tak ada ancaman langsung konflik Laut Cina Selatan terhadap Indonesia. "Indonesia itu negara netral. Sepanjang (konflik) itu tidak menular ke perbatasan kita," kata Menhan Purnomo. Sebaliknya Indonesia juga memahami ambisi Cina, tambah Purnomo, yang habis-habisan mendongkrak belanja senjatanya. "Cina juga punya kelebihan uang, jadi dia harus melakukan modernisasi persenjataannya." Yang penting buat Indonesia dan kawasan menurut
Menhan adalah adanya perimbangan kekuatan sehingga tak ada satu pihak
yang lebih dominan. "Sebetulnya itu adalah balance of power
antara berbagai kekuatan di Pasifik. AS juga mengatakan: saya akan
menempatkan 60% kekuatan di Pasifik pada 2020," tambah mantan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral ini.Dalam forum Forum Ekonomi Dunia di Jakarta tahun lalu, PM Singapura Lee Hsien Loong mengatakan ASEAN sangat berharap Cina
dan AS akan mempertahankan keseimbangan di kawasan. Anggota ASEAN, menurut PM Lee, merasakan
hubungan yang sangat baik dengan AS dan Cina yang berakibat pada naiknya
aktivitas ekonomi, investasi dan turisme. Kedamaian diharapkan terus berlanjut agar ASEAN menikmati kemakmuran. "Tapi semua ini bergantung pada satu hal: bahwa
Cina dan AS tetap berhubungan baik," tandas putra pendiri Singapura, Lee
Kwan Yew, ini. "Supaya lebih mudah bagi kami untuk juga berhubungan baik dengan kedua negara."
Kartu
Yang penting dicatat dari situasi ini menurut
peneliti isu pertahanan CSIS, Iis Gindarsah, adalah Indonesia perlu
terus memodernisasi alutsista agar komitmen pada politik luar negeri
yang bebas aktif terpenuhi. "Itu hanya berlaku kalau kita punya kekuatan
untuk melindungi diri sendiri. Tetap bebas aktif tanpa intervensi negara
lain," tuturnya.
Konflik juga bukan semata-mata merugikan.Indonesia yang sedang agresif mencari sumber
alih teknologi persenjataan justru mendapat peluang dari Cina di tengah
perebutan pengaruh ini. TNI Angkatan Laut awal tahun ini mengkonfirmasi
kontrak pembelian rudal C-705 untuk 16 (dari 40) kapal cepat rudal (KCR)
buatan PT Palindo Batam dari Cina. Dengan kontrak ini maka PT Pindad kelak akan punya peluang untuk turut memproduksi rudal di Cina dan di Bandung. Gindarsah berpendapat justru di tengah konflik
maka Indonesia lebih berpeluang memaksimalkan keuntungan dari hubungan
dengan dua kekuatan adi daya dunia itu. "Pemerintah harus pandai memainkan kartu sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak eksplisit pro-AS atau Cina," kata Gigin. "Kuncinya ada pada Indonesia karena lebih lebih banyak Indonesia yang tentukan bukan dua negara itu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar