Oleh : Mochamad Purnaegi Safron.
Ketika awan mendung dan berwarna
gelap yang disertai petir yang menggelegar, tentunya tak lama hujan akan turun.
Bagi yang berkendaraan bermotor bergegas menggunakan stelan jas hujan. Jika tidak
menggunakan pakaian hujan, maka si pengendara motor akan mencari teduhannya
sehingga tidak basah kuyup sekujur tubuhnya. Kita lihat pemandangan motor yang
berteduh berjejeran di tepi jalan guna menunggunya hujan reda. Begitu pun
dengan saya yang selalu mengalaminya ketika hujan turun menggunakan stelan jas hujan. Jika tidak maka
basah kuyub.
Sebetulnya, apabila kita tahu makna
hujan maka akan sangat berarti untuk penghuni di bumi ini. Banyak sekali makna
air hujan untuk kelangsungan hidup sampai akhir hayat. Untuk itu, harus di syukuri
karunia Allah SWT yang telah memberikan umatnya untuk hidup di bumi ini. Hujan
merupakan anugerah yang diberikan Allah SWT bagi semua makhluk di alam semesta.
Tetesan air yang turun dari langit menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk
hidup. Berkat kekuasaan Sang Khalik, setiap saat miliaran liter air berpindah
dari lautan menuju atmosfer lalu kembali lagi menuju daratan. Kehidupan pun
bergantung pada daur air ini.
Hujan memiliki
peranan penting bagi semua makhluk hidup, termasuk manusia. Hal itu disebutkan
pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an mengenai informasi penting tentang hujan,
kadar dan pengaruh-pengaruhnya.
A. Kadar
Hujan
Di dalam ayat
kesebelas Surat Az-Zukhruf, hujan dinyatakan sebagai air yang diturunkan dalam
“ukuran tertentu”. Sebagaimana ayat di bawah ini:
“Dan yang
menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu kami hidupkan
dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari
dalam kubur).” (QS. Az-Zukhruf : 11)
“Kadar” yang
disebutkan dalam ayat ini merupakan salah satu karakteristik hujan. Secara
umum, jumlah hujan yang turun ke bumi selalu sama. Diperkirakan sebanyak 16 ton
air di bumi menguap setiap detiknya. Jumlah ini sama dengan jumlah air yang
turun ke bumi setiap detiknya. Hal ini menunjukkan bahwa hujan secara
terus-menerus bersirkulasi dalam sebuah siklus seimbang menurut “ukuran”
tertentu.
Pengukuran lain
yang berkaitan dengan hujan adalah mengenai kecepatan turunnya hujan.
Ketinggian minimum awan adalah sekitar 12.000 meter. Ketika turun dari
ketinggian ini, sebuah benda yang yang memiliki berat dan ukuran sebesar
tetesan hujan akan terus melaju dan jatuh menimpa tanah dengan kecepatan
558km/jam. Tentunya, objek apapun yang jatuh dengan kecepatan tersebut akan
mengakibatkan kerusakan.
Dan apabila
hujan turun dengan cara demikian, maka seluruh lahan tanaman akan hancur,
pemukiman, perumahan, kendaraan akan mengalami kerusakan, dan orang-orang pun
tidak dapat pergi keluar tanpa mengenakan alat perlindungan ekstra. Terlebih
lagi, perhitungan ini dibuat untuk ketinggian 12.000 meter, faktanya terdapat
awan yang memiliki ketinggian hanya sekitar 10.000 meter. Sebuah tetesan hujan
yang jatuh pada ketinggian ini tentu saja akan jatuh pada kecepatan yang mampu
merusak apa saja.
Namun tidak
demikian terjadinya, dari ketinggian berapapun hujan itu turun, kecepatan
rata-ratanya hanya sekitar 8-10 km/jam ketika mencapai tanah. Hal ini
disebabkan karena bentuk tetesan hujan yang sangat istimewa. Keistimewaan
bentuk tetesan hujan ini meningkatkan efek gesekan atmosfer dan mempertahankan
kelajuan tetesan-tetesan hujan krtika mencapai “batas” kecepatan tertentu.
(Saat ini, parasut dirancang dengan menggunakan teknik ini).
Tak sebatas itu
saja “pengukuran” tentang hujan. Contoh lain misalnya, pada lapisan atmosferis
tempat terjadinya hujan, temperatur bisa saja turun hingga 400oC di bawah nol.
Meskipun demikian, tetesan-tetesan hujan tidak berubah menjadi partikel es.
(Hal ini tentunya merupakan ancaman mematikan bagi semua makhluk hidup di muka
bumi.) Alasan tidak membekunya tetesan-tetesan hujan tersebut adalah karena air
yang terkandung dalam atmosfer merupakan air murni. Sebagaimana kita ketahui,
bahwa air murni hampir tidak membeku pada temperatur yang sangat rendah
sekalipun.
B. Pembentukan Hujan
Bagaimana hujan
terbentuk tetap menjadi misteri bagi manusia dalam kurun waktu yang lama. Hanya
setelah ditemukannya radar cuaca, barulah dapat dipahami tahapan-tahapan
pembentukan hujan. Pembentukan hujan terjadi dalam tiga tahap. Pertama, “bahan
mentah” hujan naik ke udara. Kemudian terkumpul menjadi awan. Akhirnya,
tetesan-tetesan hujan pun muncul.
Tahapan-tahapan
ini secara terperinci telah tertulis dalam Al-Qur’an berabad-abad tahun lalu
sebelum informasi mengenai pembentukan hujan disampaikan:
اللَّهُ
الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ
كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى
الْوَدْقَ
يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ ۖ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا
هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Allah,
dialah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah
membentangkannya di langit menurut yang di kehendakinya, dan menjadikannya
bergumpal-gumpal: lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka
apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambanya yang di kehendakinya, tiba-tiba
mereka menjadi gembira.” (QS. Ar-Rum : 48)
Sekarang, mari
kita lihat pada tiga tahapan yang disebutkan dalam Al-Qur’an:
Tahap
Pertama : “ Allah, dialah yang mengirimkan angin…..”
Gelembung-gelembung
udara yang tidak terhitung jumlahnya dibentuk oleh buih-buih di lautan yang
secara terus-menerus pecah dan mengakibatkan partikel-partikel air tersembur ke
udara menuju ke langit. Partikel-partikel ini –yang kaya akan garam– kemudian
terbawa angin dan bergeser ke atas menuju atmosfer. Partikel-partikel ini
(disebut aerosol) membentuk awan dengan mengumpulkan uap air (yang naik dari
lautan sebagai tetesan-tetesan oleh sebuah proses yang dikenal dengan
“JebakanAir”) di sekelilingnya.
Tahap
Kedua : “…..lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah
membentangkannya di langit menurut yang di kehendakinya, dan menjadi
bergumpal-gumpal…..”
Awan terbentuk
dari uap air yang mengembun di sekitar kristal-kristal garam atau
partikel-partikel debu di udara. Karena tetesan-tetesan air di sini sangat
kecil (dengan diameter antara 0,01-0,02 mm), awan mengapung di udara dan
menyebar di angkasa. Sehingga langit tertutup oleh awan.
Tahap
Ketiga : “….lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka
apabila hujan itu turun.” Partikel-partikel air yang mengelilingi
kristal-kristal garam dan partikel-partikel debu mengental dan membentuk
tetesan-tetesan hujan. Sehingga, tetesan-tetesan tersebut, yang menjadi lebih
berat dari udara, meninggalkan awan dan mulai jatuh ke tanah sebagai hujan.
Setiap tahap
dalam pembentukan hujan disampaikan dalam Al-Qur’an. Terlebih lagi,
tahapan-tahapan tersebut dijelaskan dalam runtutan yang benar. Seperti halnya
fenomena alam lain di dunia, lagi-lagi Al-Qur’an lah yang memberikan informasi
yang paling tepat tentang fenomena ini, selain itu, Al-Qur’an telah
memberitahukan fakta-fakta ini kepada manusia berabad-abad sebelum sains
sanggup mengungkapnya.
Allah telah
menurunkan hujan sebagai rahmat di saat dibutuhkan oleh seluruh makhluk.
Allah Ta’ala berfirman
وَهُوَ
الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِن بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ
الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ
“Dan Dialah
Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya.
Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy-Syuura [41] : 28).
Yang dimaksudkan
dengan rahmat di sini adalah hujan sebagaimana dikatakan oleh Maqotil.
C. Keberkahan dan Manfaat
Hujan
Hujan adalah air yang diturunkan
dari langit dan penuh keberkahan.
Allah Ta’ala berfirman
وَنَزَّلْنَا
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُّبَارَكاً فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ
“Dan Kami
turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air
itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qaaf [50] : 9).
Yang dimaksud keberkahan di sini
adalah banyaknya kebaikan.
Di antara
keberkahan dan manfaat hujan adalah manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan sangat
membutuhkannya untuk keberlangsungan hidup, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman
وَجَعَلْنَا
مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari
air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman?” (QS. Al-Anbiya’ [21] : 30).
Al Baghowi
menafsirkan ayat ini, “Kami menghidupkan segala sesuatu menjadi hidup dengan
air yang turun dari langit yaitu menghidupkan hewan, tanaman dan pepohonan. Air
hujan inilah sebab hidupnya segala sesuatu.
D. Beberapa Amalan Ketika
Turun Hujan
Pertama:
Takut datangnya adzab ketika mendung.
Ketika muncul
mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir, jangan-jangan akan
datang adzab dan kemurkaan Allah.”
Kedua:
Do’a ketika turun hujan sebagai rasa syukur pada Allah.
’Aisyah
radhiyallahu ’anha berkata:
”Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau
mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an”
[Ya Allah
turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.
Ketiga:
Turunnya hujan, kesempatan terbaik untuk memanjatkan do’a.
Ibnu Qudamah
dalam Al Mughni mengatakan:
”Dianjurkan
untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Carilah do’a yang mustajab pada tiga
keadaan : (1) Bertemunya dua pasukan, (2) Menjelang shalat dilaksanakan, dan
(3) Saat hujan turun.”
Keempat:
Do’a ketika terjadi hujan lebat.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan. Kemudian ketika
hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada Allah agar cuaca kembali
menjadi cerah.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berdo’a:
“Allahumma
haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi,
wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari
[Ya Allah,
turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah,
turunkanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah
dan tempat tumbuhnya pepohonan].”
Kelima:
Do’a ketika terjadi angin kencang.
Dianjurkan bagi
seorang muslim ketika terjadi angin kencang untuk membaca do’a berikut
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengucapkan ketika itu,
“Allahumma
inni as-aluka khoirohaa wa khoiro maa fiihaa wa khoiro maa ursilat bihi, wa
a’udzu bika min syarrihaa wa syarri maa fiiha wa syarri maa ursilat bihi
(Ya Allah,
Aku memohon kepada-Mu baiknya angin ini dan kebaikan yang ada padanya, dan aku
memohon kebaikan dari yang diutus dengannya. Aku berlindung kepada-Mu dari
buruknya angin ini, dan keburukan yang ada padanya dan aku berlindung dari
keburukan yang diutus dengannya)”
Keenam:
Do’a ketika mendengar suara petir.
Apabila
’Abdullah bin Az Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan, kemudian
mengucapkan:
“Subhanalladzi
yusabbihur ro’du bi hamdihi wal mala-ikatu min khiifatih”
(Mahasuci
Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa
takut kepada-Nya).”
Ketujuh:
Mengambil berkah dari air hujan.
Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu berkata:
”Kami pernah
kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan.
Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan
demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Karena
hujan ini baru saja Allah ciptakan.”
An Nawawi
menjelaskan,
“Makna
hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan dari
Rabb-Nya yang Maha Tinggi. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.”
Kedelapan:
Dianjurkan berwudhu dengan air hujan. Dalilnya :
“Apabila air
mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Keluarlah
kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai alat
untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.”
Kesembilan:
Tidak boleh mencela hujan.
Sebagian orang
sering keluar dari mulutnya celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”.
Ketahuilah, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasehatkan kita agar
jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai
kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti
beliau melarang kita mencela waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut
tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam sebuah
hadits Qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Allah
Ta’alaberfirman (yang artinya), “Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa
(waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur
malam dan siang menjadi silih berganti.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.”
Dari dalil di
atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah sesuatu yang
terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang tidak dapat
berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.
Kesepuluh:
Do’a setelah turun hujan. Do’anya adalah:
“Muthirna bi
fadhlillahi wa rohmatih
(Kita diberi
hujan karena karunia dan rahmat Allah).”
E.
Keringanan Ketika Turun Hujan
Pertama:
Bolehnya meninggalkan shalat jama’ah di masjid ketika turun hujan.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau
mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan
”Apabila
engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi
ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. …”
An Nawawi –
semoga Allah merahmati beliau – menjelaskan:
”Dari hadits di
atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah
ketika turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk meninggalkan shalat
jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah-
adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada udzur.
Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal
yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit
melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mau, silahkan
mengerjakan shalat di rihal (kendaraannya) masing-masing.”
Sayid Sabiq –
semoga Allah merahmati beliau:
Dalam Fiqh
Sunnah menyebutkan salah satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat berjama’ah
adalah cuaca yang dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan perkataan Ibnu
Baththol yang menyatakan bahwa hal ini adalah ijma’ (kesepakatan para ulama).
Imam Muslim –
Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim:
Dalam kitab
shahihnya, ada beberapa lafadz tambahan adzan ketika kondisi hujan, dingin,
berangin kencang, dan tanah yang penuh lumpur baik ketika mukim maupun safar :
Alaa shollu
fir rihaal
artinya:
Hendaklah shalat di rumah (kalian)
Alaa shollu
fi rihaalikum
artinya:
Hendaklah shalat di rumah kalian
Sholluu fii
buyutikum
artinya:
Sholatlah di rumah kalian
An Nawawi
mengatakan:
“Lafadz ini
boleh diucapkan setelah adzan maupun di tengah-tengah adzan karena terdapat
dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, mengucapkannya sesudah adzan lebih
baik agar lafadz adzan yang biasa diucapkan tetap ada.”
Kedua:
Bolehnya menjama’ shalat ketika hujan deras.
Dari Abu Az
Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
”Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta
Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.” Yang
meriwayatkan dari Abu Az Zubair adalah Imam Malik dalam Muwatho’nya. Imam Malik
mengatakan, ”Aku menyangka bahwa menjama’ di sini adalah ketika hujan.”
Al Baihaqi
mengatakan:
”Begitu pula
hadits ini diriwayatkan oleh Zuhair bin Mu’awiyah dan Hammad bin Salamah, dari
Abu Az Zubair, juga dikatakan, ”(Beliau menjama’) bukan karena keadaan takut
dan bukan pula karena safar. Akan tetapi dalam riwayat tersebut tidak
disebutkan shalat Maghrib dan ’Isya dan hanya disebut jama’ tersebut dilakukan
di Madinah.”
Artinya, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallammelakukan jama’ ketika mukim (tidak bepergian)
dalam kondisi hujan.
Beberapa point
yang perlu diperhatikan :
1. Yang
diperintahkan ketika hujan adalah menjama’ shalat (menggabungkan dua shalat)
tanpa perlu meng-qoshor.
2. Jama’
dilakukan dengan imam di masjid dan bukan dilakukan di rumah.
3. Apabila
shalat telah dijama’ pada waktu pertama dari dua shalat, lalu setelah dijama;’,
hujan tersebut reda, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.
4. Boleh
menjama’ shalat zhuhur dan ashar atau maghrib dan Isya. Yang paling afdhol jika
dilakukan dengan jama’ taqdim.
5. Hujan yang
membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang bisa membuat pakaian
basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan dalam kondisi hujan
semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik dan tidak begitu deras, maka tidak
boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.
Demikian panduan
ringkas mengenai beberapa amalan dan keringanan dari syariat ketika turun
hujan. Semoga kita dimudahkan untuk mengamalkannya walaupun di tengah
keterasingan.
Keimanan
Berkaitan dengan Hujan
Ada beberapa hal keimanan yang mesti
diimani seorang muslim berkaitan dengan hujan, yaitu:
Pertama: Tidak ada yang mampu menurunkan hujan melainkan Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ
رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ
وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Apa saja yang Allah anugerahkan
kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat
menahannya; dan apa saja yang ditbeahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang
sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Fathir: 2).
Sebagian ulama seperti penulis
tafsir Al Jalalain mengatakan bahwa rahmat yang dimaksudkan di sini adalah
rizki dan hujan.
Al Qurthubi mengatakan bahwa
sebagian ulama menafsirkan rahmat dalam ayat di atas dengan hujan atau rizki.
Mereka mengatakan, “Hujan atau rizki yang Allah datangkan pada mereka, tidak
ada satu pun yang dapat menahannya. Jika Allah menahannya untuk turun, maka
tidak ada seorang pun yang dapat menurunkan hujan tersebut.”
Ada pula ulama yang memaksudkan
rahmat di sini dengan diutusnya rasul karena rasul adalah rahmat untuk manusia.
Ada pula ulama yang menafsirkan rahmat dengan do’a, taubat, taufik dan hidayah.
Namun yang lebih tepat, makna rahmat di sini adalah umum mencakup segala apa
yang dimaksudkan oleh para ulama tadi. Jadi makna rahmat adalah hujan, rizki, do’a,
taubat, taufik dan hidayah.
Kedua: Diturunkannya hujan termasuk kunci ilmu ghoib dan hanya
Allah yang tahu kapan turunnya
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ
وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الأرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا
تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya
pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang
menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang
pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan
tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,
مِفْتَاحُ
الْغَيْبِ خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ اللَّهُ لاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ
فِى غَدٍ ، وَلاَ يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِى الأَرْحَامِ ، وَلاَ تَعْلَمُ
نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ، وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ،
وَمَا يَدْرِى أَحَدٌ مَتَى يَجِىءُ الْمَطَرُ
“Kunci ilmu ghoib ada lima, tidak
ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta’ala. [1] Tidak ada seorang pun yang
mengetahui apa yangg terjadi keesokan harinya. [2] Tidak ada seorang pun
mengetahui apa yang terjadi dalam rahim. [3] Tidak ada satu jiwa pun yang
mengetahui apa yang ia lakukan besok. [4] Tidak ada satu jiwa pun yang
mengetahui di manakah ia akan mati. [5] Tidak ada seorang pun yang mengetahui
kapan turunnya hujan.”
Inilah lima hal yang disebut dengan mafatihul
ghoib (kunci ilmu ghoib). Dan di antara kunci ilmu ghoib adalah diturunkannya
hujan.
Qotadah mengatakan, “Tidak ada
seorang pun yang mengetahui kapankah diturunkannya hujan, malam ataukah siang
hari.”
Ketiga: Ada Malaikat yang bertugas menurunkan hujan
Dalam Al Mu’jam Al Kabir, Imam Ath
Thobroni meriwayatkan tentang percakapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan malaikat Jibril, di antaranya,
قُلْتُ: عَلَى أَيِّ شَيْءٍ
مِيكَائِيلُ؟ قَالَ: عَلَى النَّبَاتِ وَالْقَطْرِ
“Aku (Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam) bertanya, “Tentang apakah Mikail itu ditugaskan? Ia
(yaitu Jibril) menjawab, “Ia ditugaskan mengurus tanaman dan hujan.”
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
mengatakan bahwa dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad bin ‘Abdirrahman bin
Abi Laila. Ia telah didho’ifkan (dilemahkan) karena jeleknya hafalan, namun ia
tidak ditinggalkan.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa hadits
ini ghorib dari sisi ini. Ibnu Katsir menjelaskan, “Mikail ditugaskan
untuk mengurus hujan dan tumbuh-tumbuhan yang darinya berbagai rizki diciptakan
di alam ini. Mikail memiliki beberapa pembantu. Mereka melaksanakan apa yang diperintahkan
kepada mereka melalui Mikail berdasarkan perintah dari Allah. Mereka mengatur
angin dan awan, sebagaimana yang dikehendaki oleh Rabb yang Maha Mulia.
Sebagaimana pula telah kami riwayatkan bahwa tidak ada satu tetes pun air
yang turun dari langit melainkan Mikail bersama malaikat lainnya menurunkannya
di tempat tertentu di muka bumi ini.”
Keempat: Turunnya hujan telah ditulis di Lauhul Mahfuzh
Kejadian apa saja yang terjadi di
muka bumi ini telah diketahui, tercatat dalam Lauhul Mahfuzh sejak
50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi dan telah ditakdirkan oleh
Allah. Termasuk dalam hal ini adalah diturunkannya hujan, kapan terjadinya, di
mana diturunkan, berapa intensitasnya dan bagaimana dampak dari hujan tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ
الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ
سَنَةٍ
“Allah telah mencatat takdir
setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ
الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ. قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبْ
مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
“Sesungguhnya yang pertama kali
Allah ciptakan adalah qolam. Lalu Allah firmankan padanya, ‘Tulislah’. Qolam
mengatakan, “Apa yang akan aku tulis?’ Allah berfirman, ’Tulislah berbagai
takdir dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga hari kiamat’. ”
Berkaitan dengan qadha’ Allah
terhadap segala sesuatu yang akan terjadi pada makhluk-Nya, Allah berfirman,
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Pada malam itu dijelaskan segala
urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 4). Malam yang dimaksudkan di
sini adalah malam Lailatul Qadar sebagaimana pendapat mayoritas ulama tafsir.
Asy Syaukani menyebutkan sebagaimana
dikeluarkan oleh Muhammad bin Nashr, Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim, bahwa
Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat di atas, “Pada malam lailatul qadar segala sesuatu
dicatat dalam Ummul Kitab (yang ada di Lauhul Mahfuzh) berupa rizki, kematian,
kehidupan, hujan, sampai orang yang berhaji yaitu si fulan akan berhaji
dan si fulan akan berhaji.”
Kelima: Ucapan istighfar dapat menyebabkan turunnya hujan
Allah Ta’ala berfirman,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ
إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11)
وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ
لَكُمْ أَنْهَارًا (12)
“Maka aku katakan kepada mereka:
‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya
Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta
dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di
dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS. Nuh: 10-12)
Terdapat sebuah atsar dari Hasan Al
Bashri rahimahullah sebagai berikut.
أَنَّ رَجُلًا شَكَى إِلَيْهِ
الْجَدْب فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر الْفَقْر فَقَالَ
اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر جَفَاف بُسْتَانه فَقَالَ
اِسْتَغْفِرْ اللَّه ، وَشَكَى إِلَيْهِ آخَر عَدَم الْوَلَد فَقَالَ اِسْتَغْفِرْ
اللَّه ، ثُمَّ تَلَا عَلَيْهِمْ هَذِهِ الْآيَة
Sesungguhnya seseorang mengadukan
kepada Al Hasan tentang musim paceklik yang terjadi. Lalu Al Hasan
menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian orang lain mengadu lagi kepada
beliau tentang kemiskinannya. Lalu Al Hasan menasehatkan, “Beristigfarlah
(mohon ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian orang lain mengadu lagi
kepada beliau tentang kekeringan pada lahan (kebunnya). Lalu Al Hasan
menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian orang lain mengadu lagi
kepada beliau karena sampai waktu itu belum memiliki anak. Lalu Al Hasan
menasehatkan, “Beristigfarlah (mohon ampunlah) kepada Allah”.
Kemudian setelah itu Al Hasan Al
Bashri membacakan surat Nuh di atas.
Maksud surat Nuh di atas sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Katsir, “Jika kalian meminta ampun (beristigfar) kepada
Allah dan mentaati-Nya, niscaya kalian akan mendapatkan banyak rizki, akan
diberi keberkahan hujan dari langit, juga kalian akan diberi keberkahan dari
tanah dengan ditumbuhkannya berbagai tanaman, dilimpahkannya air susu, serta
akan dilapangkan pula harta dan anak, yaitu kalian akan diberi anak dan
keturunan. Di samping itu, Allah juga akan memberikan kepada kalian kebun-kebun
dengan berbagai buah yang di tengah-tengahnya akan dialirkan sungai-sungai.”
Keenam: Suara geledek adalah malaikat yang membawa api
Ada tiga istilah untuk kilatan petir
dan geledek yaitu ar ro’du, ash showa’iq dan al barq. Ar
ro’du adalah istilah untuk suara petir atau geledek. Sedangkan ash
showa’iq dan al barq adalah istilah untuk kilatan petir, yaitu
cahaya yang muncul beberapa saat sebelum adanya suara petir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan, ”Dalam hadits marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, pen) pada riwayat At Tirmidzi dan selainnya, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang ar ro’du, lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab,
مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ مُوَكَّلٌ
بِالسَّحَابِ مَعَهُ مخاريق مِنْ نَارٍ يَسُوقُ بِهَا السَّحَابَ حَيْثُ شَاءَ
اللَّهُ
”Ar ro’du adalah malaikat
yang diberi tugas mengurus awan dan bersamanya pengoyak dari api yang
memindahkan awan sesuai dengan kehendak Allah.”
Disebutkan dalam Makarimil Akhlaq
milik Al Khoro-ithi, ’Ali pernah ditanya mengenai ar ro’du. Beliau
menjawab, ”Ar ro’du adalah malaikat. Beliau ditanya pula mengenai al
barq. Beliau menjawab, ”Al barq (kilatan petir) itu adalah pengoyak
di tangannya.” Dan dalam riwayat lain dari Ali juga,” Al barq itu adalah
pengoyak dari besi di tangannya”.”
Kemudian Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah mengatakan lagi, ”Ar ro’du adalah mashdar (kata kerja
yang dibendakan) berasal dari kata ro’ada, yar’udu, ro’dan (yang berarti
gemuruh).
… Namanya gerakan pasti menimbulkan
suara. Malaikat adalah yang menggerakkan (menggetarkan) awan, lalu memindahkan
dari satu tempat ke tempat lainnya. Dan setiap gerakan di alam ini baik yang di
atas (langit, pen) maupun di bawah (bumi, pen) adalah dari malaikat.
Suara manusia dihasilkan dari gerakan bibir, lisan, gigi, lidah, dan dan
tenggorokan. Dari situ, manusia bisa bertasbih kepada Rabbnya, bisa mengajak
kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Oleh karena itu, ar
ro’du (suara gemuruh) adalah suara yang membentak awan. Dan al barq
(kilatan petir) adalah kilauan air atau kilauan cahaya. … ”
Ketujuh: Kewajiban zakat yang tidak ditunaikan dapat menghalangi
turunnya hujan
Jika suatu kaum yang sudah memiliki
kewajiban mengeluarkan zakat enggan mengeluarkan zakat, itu bisa menjadi sebab
terhalangnya turunnya hujan.
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَمْ يَمْنَعْ قَوْمٌ زَكَاةَ
أَمْوَالِهِمْ إِلا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ , وَلَوْلا الْبَهَائِمُ
لَمْ يُمْطَرُوا.
“Jika suatu kaum enggan
mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, maka mereka akan dicegah dari
mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang ternak,
niscaya mereka tidak diberi hujan.”
Dari Buraidah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَضَ قَوْمٌ العَهْدَ قَطٌّ
إِلاَّ كَانَ القَتْلُ بَيْنَهُمْ وَمَا ظَهَرَتْ فَاحِشَةً فِي قَوْمٍ قَطٌّ
إِلاَّ سَلَّطَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِمْ المَوْتَ وَلاَ مَنَعَ قَوْمٌ
الزَّكَاةَ إِلاَّ حَبَسَ اللهُ عَنْهُمْ القَطْرَ
“Tidaklah suatu kaum mengingkari
janji mereka melainkan akan ada pembunuhan di tengah-tengah mereka. Tidaklah
tampak perbuatan keji di tengah-tengah suatu kaum melainkan Allah akan kuasakan
kematian pada mereka. Dan tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat
melainkan Allah akan menahan hujan untuk mereka.”
Asy Syaukani menjelaskan faedah
hadits yang serupa dengan hadits di atas:
- Enggan menunaikan zakat menjadi sebab tidak
diturunkannya hujan dari langit.
- Jika hujan itu diturunkan padahal maksiat merajalela,
maka itu hanya karena rahmat Allah Ta’ala pada binatang ternak.
Hal ini menunjukkan bahwa dengan
seseorang menunaikan zakat, berarti ia telah memakmurkan bumi Allah. Semoga
kita bisa mengimani beberapa bentuk keimanan yang berkaitan dengan hujan ini
dengan keimanan yang benar, mantap dan kokoh.
Sumber:
http://rumaysho.com/aqidah/iman-hujan-811
http://www.ikadi.or.id/artikel/kemukjizatan-ilmiah/62-fenomena-hujan-dalam-alquran.
http://islamislogic.wordpress.com/2013/01/09/hujan-adalah-berkah