Oleh
Mochamad Purnaegi Safron
Kementerian
Kelautan dan Perikanan berhasil menangkap lima kapal asing pencuri ikan di Laut
Natuna, Kepulauan Riau, Rabu, 19 November 2014. Kelima kapal berbendera
Indonesia itu berisi 61 anak buah k
apal berkewarganegaraan Thailand. (situs tempo.co). Menurut Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan mengakui, pengawasan terhadap kapal yang lalu-lalang di perairan Indonesia minim. Karena itu, lembaganya butuh bantuan TNI Angkatan Laut dan kepolisian. Sebab, petugas Kementerian Kelautan tidak memiliki senjata. Saat ini, untuk menegakkan hukum, Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya memiliki penyidik dan pengadilan perikanan. Namun Susi berjanji untuk mengoptimalkan fungsi dua lembaga ini.
apal berkewarganegaraan Thailand. (situs tempo.co). Menurut Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan mengakui, pengawasan terhadap kapal yang lalu-lalang di perairan Indonesia minim. Karena itu, lembaganya butuh bantuan TNI Angkatan Laut dan kepolisian. Sebab, petugas Kementerian Kelautan tidak memiliki senjata. Saat ini, untuk menegakkan hukum, Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya memiliki penyidik dan pengadilan perikanan. Namun Susi berjanji untuk mengoptimalkan fungsi dua lembaga ini.
Menanggapi
pencurian ikan laut di Indonesia, Presiden Joko Widodo mengatakan setiap tahun
ada 5.400 kapal yang mengeksploiillegal fishing. Menurutnya, pencurian ikan
telah membuat Indonesia kehilangan Rp 300 triliun. Karena itu, Jokowi
memerintahkan Susi untuk tak hanya menangkap kapal pencuri ikan.
tasi kekayaan laut Indonesia, sebagian di antaranya melakukan
tasi kekayaan laut Indonesia, sebagian di antaranya melakukan
Menanggapi,
ide Kementerian Kelautan dan Perikanan, Susi
Pujiastuti tenggelamkan kapal pencuri ternyata wajib, Mantan Direktur Jenderal
Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Adji Sularso, pihaknya
setuju dengan ide penenggalaman kapal asing pencuri ikan. Malah, ia menilai,
langkah itu tepat dan wajib dilakukan pemerintah.
Indonesia
memiliki wilayah laut yang sangat luas di kawasan Asia Tenggara, bahkan di
dunia. Namun ketersediaan potensi ini tidak serta-merta membuat nelayan
Indonesia bisa menikmati kekayaan laut. Keinginan pemerintah untuk
memberdayakan nelayan lokal mengalami tantangan dan hambatan berupa pencurian
ikan yang dilakukan oleh nelayan asing. Lemahnya pengawasan terhadap luasnya
laut Indonesia sepertinya dimanfaatkan oleh nelayan asing untuk mengeruk
kekayaan alam laut Indonesia secara leluasa.
Kasus
pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia dinilai sudah sangat
memprihatinkan. Selain merugikan negara hampir triliunan rupiah per tahun,
perangkat hukum untuk menjaga laut kita dari aksi pencurian ikan oleh nelayan
asing belum mantap. Aksi pencurian ikan oleh nelayan akhir-akhir ini kembali
marak.
Untuk
mengamankan dan mengawasi perairan Indonesia dari aksi penjarahan hasil laut
yang dilakukan nelayan asing, dibutuhkan sejumlah kapal patroli cepat. Karena
seperti diketahui, kebanyakan kapal nelayan asing itu menggunakan mesin modern
dengan kecepatan tinggi dan tidak bisa dipungkiri banyak kapal patroli kita
yang masih menggunakan mesin kuno. Untuk mengimbangi kapal asing tersebut,
dibutuhkan banyak kapal patroli modern dan canggih.
Di
sisi lain, keberadaan nelayan lokal harus tetap dilibatkan dalam rangka
melindungi wilayah perairannya dari aksi-aksi penjarahan oleh nelayan asing.
Keterlibatan nelayan lokal untuk mengawasi dan mengamankan perairannya ini
bertujuan untuk mempersempit ruang gerak nelayan asing. Sudah saatnya, kita
manfaatkan kekayaan sumber daya laut yang ada untuk kesejahteraan nelayan lokal
dengan cara menggerakkan seluruh potensi yang ada.
Mari
kita jaga dan amankan perairan kita dari segala macam bentuk tindak kejahatan
yang dilakukan oleh pihak asing. Karena tanpa partisipasi nelayan lokal,
pengawasan dan pengamanan yang dilakukan pihak aparat mustahil akan berjalan
dengan lancar. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita membantu aparat keamanan
menangani masalah ini agar aksi penjarahan hasil laut oleh asing bisa
diantisipasi dan diminimalisir.
Anatomi Pencurian Ikan
Sebagai
negara yang kaya sumber daya alam, Indonesia belum bisa memanfaatkannya menjadi
sumber kemakmuran atau berkah. Padahal, Amerika Serikat, Kanada, Australia,
Selandia Baru, dan bahkan Malaysia sudah menjadikannya sumber kemajuan untuk
rakyat.Banyak faktor penghambatnya: sikap masyarakat yang kurang peduli, aparat
pemerintah dan DPR yang korup, rendahnya aplikasi teknologi, rendahnya proses
nilai tambah, serta faktor terpenting adalah karena aktivitas pencurian oleh
oknum pengusaha dan penguasa.
Praktik
pencurian ikan (illegal, unregulated and unreported fishing practices) oleh
armada kapal ikan asing adalah yang paling merugikan negara. Pencurian ini
diperkirakan mencapai 1 juta ton atau Rp 30 triliun per tahun sejak pertengahan
1980-an (FAO, 2008). Pencurian ikan juga mematikan peluang nelayan lokal untuk
mendapatkan 1 juta ton ikan setiap tahun dan mengurangi pasokan ikan segar bagi
industri pengolahan hasil perikanan nasional. Akibatnya, impor ikan terus
meningkat.
Ihwal Pencurian
Wacana
pencurian ikan muncul bersama-sama dalam kerangka Illegal, Unreported and Unregulated
penangkapan ikan saat diselenggarakannya forum Komisi Konservasi Sumber Daya
Hayati Samudra Atlantik (Commision for Conservation of Atlantic Marine Living
Resources) pada 27 Oktober-7 November 1997.
Pada
praktiknya, keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongkan
menjadi dua. Pertama, pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan oleh kapal
asing dengan memanfaatkan surat izin penangkapan milik pengusaha lokal,
menggunakan kapal berbendera lokal atau berbendera negara lain. Praktik ini sering
disebut ”pinjam bendera” (flag of convenience).
Kedua
adalah pencurian murni ilegal, yaitu proses penangkapan ikan oleh nelayan asing
dan kapal asing di wilayah kita. Kegiatan ini jumlahnya cukup besar,
berdasarkan perkiraan FAO (2008) sekitar 1 juta ton per tahun dengan jumlah
kapal sekitar 3.000 kapal. Kapal-kapal tersebut berasal dari Thailand, Vietnam,
Malaysia, RRC, Filipina, Taiwan, Korsel, dan lainnya.
Praktik
pencurian ikan tidak hanya dilakukan oleh pihak asing, tetapi juga oleh para
nelayan/pengusaha lokal. Caranya: (1) Kapal ikan berbendera Indonesia bekas
kapal ikan asing dengan dokumen palsu, (2) kapal ikan Indonesia dengan dokumen
”asli tapi palsu”, dan (3) kapal ikan Indonesia yang tanpa dilengkapi dokumen.
Faktor Penyebab
Beberapa
faktor yang menyebabkan maraknya praktik pencurian ikan, antara lain,
terjadinya overfishing (tangkap lebih) di negara-negara tetangga; penegakan
hukum yang lemah, termasuk keterlibatan para penegak hukum itu sendiri;
mekanisme izin dan peraturan yang tidak transparan; serta kecilnya armada
Indonesia yang mampu beroperasi ke laut dalam.
Meskipun
di sejumlah wilayah (pantai utara Jawa, sebagian Selat Malaka, pantai selatan
Sulawesi, dan Selat Bali) telah mengalami kelebihan tangkap, masih banyak
wilayah laut Indonesia yang memiliki sumber daya ikan cukup besar, seperti
Natuna serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Laut China Selatan,
Laut Arafura, Laut Sulawesi; ZEEI di Samudra Pasifik; ZEEI di Samudra Hindia;
dan wilayah laut perbatasan.
Indonesia
memiliki potensi produksi lestari (maximum sustainable yield/MSY) ikan laut 6,5
juta ton per tahun, salah satu negara dengan potensi ikan laut terbesar di
dunia. Total MSY ikan laut dunia 90 juta ton per tahun (FAO, 2010). Artinya,
sekitar 7,2 persen ikan laut dunia terdapat di Indonesia. Negara-negara yang
(warganya) mencuri ikan di wilayah laut Indonesia (Thailand, Filipina, Vietnam,
Malaysia, RRC, dan Taiwan) potensi sumber daya ikan lautnya jauh lebih kecil.
Susahnya,
saat ini Indonesia baru punya 25 kapal patroli perikanan di bawah pengelolaan
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari jumlah itu, hanya enam kapal patroli
yang mampu beroperasi di ZEEI dan laut dalam. Padahal, untuk mengawasi wilayah
laut Indonesia yang sangat luas (5,8 juta kilometer persegi), dibutuhkan 90
kapal patroli.
Demikian
pula halnya dari sisi nelayan. Dari sekitar 600.000 unit kapal ikan Indonesia,
hanya 1 persen yang mampu beroperasi serta menangkap ikan di wilayah laut ZEEI,
laut perbatasan, dan laut dalam. Sisanya, 99 persen armada kapal ikan hanya
mampu beroperasi di wilayah laut dekat pantai atau laut dangkal. Akibatnya,
pencurian ikan oleh kapal asing merajalela di wilayah laut yang tidak
terjangkau.
Strategi Penanggulangan
Untuk
mengatasinya, pemerintah harus melaksanakan dua strategi secara simultan, yaitu
ke dalam dan ke luar. Strategi ke dalam ada empat. Pertama, penyempurnaan
sistem dan mekanisme perizinan perikanan tangkap. Jumlah kapal penangkapan ikan
yang diizinkan beroperasi di suatu daerah penangkapan ikan tidak melebihi
jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (80 persen MSY) agar usaha perikanan
tangkap berlangsung lestari.
Secara
bertahap paling lambat tahun 2012 (saat kemampuan armada kapal ikan Indonesia
dapat menangkap seluruh sumber daya di ZEEI), tidak ada lagi izin penangkapan
bagi kapal ikan asing di perairan ZEEI. Dan, yang paling penting adalah
prosedur pengurusan perizinan secara transparan dan cepat.
Kedua,
pengembangan dan penguatan kemampuan pengawasan (penegakan hukum) di laut.
Untuk itu, dapat dilakukan pemberlakuan sistem monitoring, control, and
surveillance yang salah satunya menggunakan vessel monitoring systems (VMS).
Dengan demikian, keberadaan kapal asing dapat segera diidentifikasi.
Australia
merupakan salah satu negara yang sukses menggunakan sistem itu sehingga
kejadian pencurian ikan di wilayah Australian Fishing Zone berkurang drastis
dalam dekade terakhir (Davis, 2000). Di Indonesia, kegiatan ini dimulai tanggal
1 Juli 2003 dengan target pemasangan fasilitas VMS di 500 kapal perikanan asing
dan lokal. Tahun 2004, diharapkan sekitar 1.000 unit kapal dengan bobot 50 GT,
baik asing maupun lokal, dapat dilengkapi VMS ini.
Selanjutnya
perlu memberdayakan serta meningkatkan kapasitas kelembagaan dan organisasi
pengawasan di masyarakat (community-based monitoring). Sistem pengawasan
berbasis masyarakat ini pun dilakukan di negara-negara maju. Jepang, misalnya,
telah lama menerapkan sistem ini, khususnya terkait gyogyou ken (hak menangkap
ikan) bagi komunitas perikanan tertentu. Dengan ujung tombak gyogyou kumiai
(fisheries cooperative), komunitas perikanan lokal mengawasi daerah
penangkapannya.
Sarana
dan prasarana pengawasan perlu dipenuhi secara bertahap sesuai dengan prioritas
dan kebutuhan, terutama menambah jumlah kapal patroli perikanan. Pemerintah
juga perlu meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan instansi lintas sektor
terkait dalam bidang pengawasan. Selanjutnya memperbaiki mentalitas dan etos
kerja aparat pengawas perikanan di laut agar lebih memiliki rasa nasionalisme,
tidak mudah disogok oleh pihak asing atau pengusaha nasional yang menjadi
broker.
Untuk
itu, kita harus meningkatkan pendapatan aparat pengawasan di laut supaya mereka
hidup sejahtera dan terhormat bersama keluarganya. Selain itu, kita harus
memberikan penghargaan kepada mereka yang berhasil menangkap pencuri ikan di
wilayah laut Indonesia, misalnya dengan memberikan kenaikan pangkat dan/atau
bonus. Sebaliknya, sanksi keras diberikan kepada aparat yang melanggar.
Sistem Hukum
Hal
lain, membenahi sistem hukum dan peradilan perikanan. Dengan disahkannya UU
Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 jo UU Nomor 45 Tahun 2009 diharapkan penegakan
hukum di laut dapat dilakukan. Dalam UU Perikanan ini setiap kapal penangkap
ikan harus memiliki surat izin penangkapan ikan. Pengelola dan pemilik kapal
berbendera Indonesia yang melanggar ketentuan diancam pidana enam tahun dan
denda Rp 2 miliar. Sementara pengelola dan pemilik kapal berbendera asing
terancam penjara enam tahun dan denda Rp 20 miliar.
Selain
itu, UU tersebut juga menegaskan bahwa pemeriksaan di sidang pengadilan dapat
dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa. Hakim juga harus sudah menjatuhkan
putusan paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan
berkas perkara dari penuntut umum. Jangka waktu yang sama berlaku pula bagi
hakim pengadilan tinggi serta Mahkamah Agung dalam memutuskan permohonan
banding dan kasasi.
Dengan
pengadilan ad-hoc ini diharapkan nilai ikan yang dapat diselamatkan bisa
meningkat sekaligus membantu mengurangi kerusakan kapal asing yang dijadikan
bahan sitaan, yang bisa disumbangkan kepada nelayan nasional. Sementara
strategi ke luar terkait dengan pentingnya kerja sama regional ataupun
international, khususnya dengan negara tetangga. Dengan meningkatkan peran ini,
Indonesia dapat meminta negara lain untuk memberlakukan sanksi bagi kapal yang
menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia.
Indonesia
juga sudah bekerja sama dengan negara-negara lain dalam bentuk Joint Commission
Sub-Committee of Fisheries Cooperation dengan Thailand dan Filipina guna
membahas isu-isu perikanan dan delimitasi batas ZEE antarnegara.
Dengan
bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi perikanan internasional, secara
tidak langsung Indonesia juga telah menghentikan praktik ”non-member fishing”
sehingga produk perikanan Indonesia relatif dapat ”diterima” oleh pasar
internasional.
Semoga Bermanfaat Tulisan ini.
Sumber
:
https://id-id.facebook.com
http://www.tempo.co/
http://pksplipb.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar