Seusai
melaksanakan shalat bersama di Masjid Nabawi, seorang jamaah tanah air yang
baru pertama kali berziarah ke Tanah Suci berkomentar, “Kok, cara-cara shalat
di sini banyak sekali perbedaannya, ya.” Pandangan ini menunjukkan bahwa jika
shalat merupakan representasi keislaman seseorang seperti diisyaratkan dalam
salah satu sabda Rasulullah, maka berarti ada banyak cara orang beragama Islam.
Beragam jamaah cara melakukan shalat, misalnya melakukan takbiratul ihram.
Lalu, tangannya diletakkan di tempat yang berbeda-beda. Di atas perut, di atas
dada, atau seperti memeluk tubuh kedinginan. Bahkan, ada pula yang membiarkan
tangan itu tergantung lepas. Demikian pula pada gerakan shalat lainnya. Gerakan
tangan ketika berdiri sesudah rukuk, atau gerakan telunjuk dan posisi duduk
ketika tasyahud akhir, semuanya terlihat berbeda-beda. Tapi, semuanya berjalan
damai. Tidak ada perdebatan yang tidak menguntungkan, apalagi konflik.
Bukan hanya itu,
perilaku jamaah pun amat bervariasi. Mereka melakukan sesuatu tindakan sesuai
ukuran norma yang dianutnya masing-masing. Jamaah yang baru pertama kali shalat
di Masjid Nabawi itu sempat kaget. Dia merasa diperlakukan tidak sopan.
Kepalanya dipegang seenaknya. Badannya dilangkahi tanpa basa-basi apa pun.
Kadang, kepalanya yang tengah melakukan sujud pun bisa saja tertendang kaki orang-orang
yang masih mencari-cari ruang-ruang sempit di antara barisan para jamaah yang
sejak awal telah mendapat tempat duduk. Mungkin bagi para pelakunya hal aneh
itu dianggap wajar dan masih dalam batas-batas sopan santun. Tapi, sekali lagi,
tidak ada amarah, caci maki, apalagi respons kekerasan.
Mungkin
begitulah tafsir pluralitas seperti diisyaratkan Alquran. Jika Tuhan telah
menciptakan manusia ini berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, tentu bukan hanya
dalam wujud fisik yang tampak nyata dalam warna kulit, bahasa, dan budaya.
Tapi, juga dalam ukuran-ukuran baik-buruk atau benar-salah sepanjang masih
dalam ruang ijtihad, lingkup pemikiran, serta tradisi lokal yang menjadi
referensi kehidupannya. Memang, pada praktiknya, beragama sendiri pada dasarnya
tidak lebih dari berbuat sesuatu amal sesuai kapasitas insani yang dimiliki
seorang pemeluk sesuatu agama. Tidak dalam posisi dipaksanakan, atau karena ada
pemaksaan untuk melakukan sesuatu amal.
Praktik beragama
pada akhirnya akan terikat pada etika dan perilaku sosial yang bersumber pada
keragaman dan perbedaan seperti disebutkan Alquran. Jadi, ekspresi beragama pun
akan tampak berbeda-beda. Ia tidak bisa dibikin sama, apalagi dipaksa harus
sama, dan kalaupun sama, semuanya terjadi karena ada kesamaan referensi dan
pengalaman yang sewaktu-waktu juga bisa saja berubah jadi berbeda.
Inilah potret
indah pluralitas seperti dipesankan Alquran dan dicontohkan Rasulullah.
Keberhasilan Nabi menciptakan kerukunan di tengah perbedaan masyarakat Madinah,
merupakan sampel mewujudkan perdamaian di tengah pluralitas umat untuk
membangun kebersamaan yang sesungguhnya.
Sungguh ironis, mengapa pluralitas di Tanah
Air masih saja ramai diwarnai ketegangan dan bahkan kekerasan?
Mungkin, kita masih harus banyak belajar dan tidak katak dalam tempurung.
Sumber:
http://cintaallahswt.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar